Perpu KPK Berpotensi Inkonstitusional


Image

DR. MOH. SALEH

Pakar Hukum Konstitusi Universitas Narotama Surabaya

Perpu KPK Berpotensi Inkonstitusional

 Kolom
https://akurat.co/id-808901-read-perpu-kpk-berpotensi-inkonstitusional
Image
Menteri Dalam Negri Tjahjo Kumolo bersalaman dengan Anggota Panja Arsul Sani sebelum dimulainya rapat panja pembahasan rancangan revisi UU No 30/2002 tentang KPK di ruang Badan Legislasi (Baleg), Nusantara I, Kompleks Parlemen MPR/DPR-DPD, Senayan, Jakarta, Jumat (13/9/2019).Dalam rapat ini membahas rancangan revisi UU MD3 (MPR/DPR/DPD) No 2/2018 dan UU Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan (PPP) No 12/2011. | AKURAT.CO/Sopian
AKURAT.CO, UUD NRI 1945 sebagai the supreme law of the land telah menentukan desain hubungan ketatanegaraan dalam rangka pembatasan kekuasaan melalui mekanisme check and balances antar lembaga negara. Melalui UUD NRI 1945 inilah maka tidak ada satupun kekuasaan lembaga negara di Indonesia yang tidak dibatasi oleh UUD NRI 1945, termasuk kekuasaan Presiden dalam membuat Perpu.
UUD NRI 1945 telah menentukan secara tegas terkait dengan lembaga negara yang berwenang melakukan pengujian atas suatu produk hukum. Jika produk hukum tersebut berbentuk undang-undang, maka lembaga negara yang berwenang melakukan pengujian adalah Mahkamah Konstitusi melalui mekanisme constitutional review. Jika berbentuk Perppu, maka yang berwenang melakukan pengujian adalah DPR melalui mekanisme legislative review dan oleh Mahkamah Konstitusi melalui mekanisme constitutional review. Jika berbentuk peraturan di bawah undang-undang, maka yang berwenang melakukan pengujian adalah Mahkamah Agung melalui mekanisme judicial review.
Mekanisme pengujian atas sebuah produk hukum pada hakikatnya adalah sebagai media check and balances antar lembaga negara, sehingga pengujian atas sebuah produk hukum tersebut harus dilakukan oleh lembaga negara lain, bukan dilakukan oleh lembaga negara yang membuatnya. Oleh karena itu, UUD NRI 1945 telah menentukan produk hukum apa dan lembaga negara mana yang berwenang melakukan pengujian sebagaimana dijelaskan di atas.
Baca Juga:
Perdebatan mengenai rencana pembuatan Perpu oleh Presiden untuk merubah Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang KPK dapat dianalisis konstitusionalitasnya melalui kedudukan DPR dan melalui pendekatan sejarah terbentuknya mekanisme pengujian undang-undang. Undang-Undang dibentuk oleh DPR dalam kedudukannya sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Menurut John Locke (1632-1704 M) dalam Second Treatise of Government menyatakan bahwa kekuasaan legislatif diberikan oleh rakyat untuk mengatur hak-hak alamiah (natural rights) yang tak tertanggalkan dalam setiap individu yang berupa life, liberty, dan estate agar dapat dijamin perlindungan dan pemenuhannya oleh negara. Oleh sebab itulah, John Locke menyatakan bahwa kekuasaan legislatif merupakan kekuasaan yang tertinggi, sedangkan kekuasaan lainnya berasal dari dan lebih rendah darinya.
Pemikiran John Locke inilah yang menjadi sumber lahirnya prinsip supremasi parlemen, bahwa undang-undang yang dibuat oleh parlemen tidak dapat dilakukan peninjauan oleh lembaga negara lainnya, termasuk oleh lembaga pengadilan, apalagi lembaga eksekutif. Baru sejak adanya Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus William Marbury vs. James Madison tahun 1803, prinsip supremasi parlemen bergeser menjadi supremasi konstitusi, dimana lembaga pengadilan yang berwenang dapat melakukan pengujian atas konstitusionalitas sebuah undang-undang terhadap Konstitusi. Prinsip supremasi konstitusi ini kemudian berkembang di negara-negara eropa kontinental, yaitu di Austria dengan dibentuknya Verfassungsgerichtshoft (Mahkamah Konstitusi) pada tahun 1920, yang kemudian diadop oleh Indonesia pada tahun 2003.
Berdasarkan atas analisis kedudukan DPR dan pendekatan historis tersebut di atas, maka undang-undang sebagai produk DPR pemegang kekuasaan legislatif hanya dapat dilakukan peninjauan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of the constitution  dan sebagai wujud pelaksanaan dari supremasi konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945. Atas dasar argumentasi inilah, maka Perpu tidak dapat dijadikan instrumen hukum untuk mereview materi muatan dalam Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang KPK.
Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 memberikan kekuasaan kepada Presiden sebagai pemagang kekuasaan eksekutif untuk membentuk Perpu hanya dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Jadi, syarat adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa ini merupakan Objective wording  dan menjadi batasan bagi kekuasaan Presiden untuk membentuk Perpu. Objective wording  ini kemudian diperjelas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009. Pada paragraf 3.10 disebutkan bahwa Perpu diperlukan apabila:
  1.    adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat  berdasarkan Undang-Undang;
  2.    Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukumatau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
  3.    kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Tiga syarat di atas merupakan syarat kumulatif, artinya Presiden baru dapat memberlakukan Perpu jika telah memenuhi semua tiga syarat tersebut. Syarat kumulatif ini dipertegas pada paragraf 3.11 dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Dalam hal Presiden akan memberlakukan Perpu, maka materi muatan Perpu tersebut bukan untuk merubah atau menghapus sebagian materi muatan dalam Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang KPK, tetapi untuk mengisi kekosongan hukum yang belum diatur atau belum memadai diatur dalam Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang KPK, misalnya pengaturan terkait dengan Ketentuan Peralihan bagi calon komisoner KPK yang belum berumur 50 tahun pada saat proses pemilihan sesuai dengan Pasal 29 huruf e rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang KPK.
Dalam hal materi muatan Perpu mereview materi muatan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang KPK, baik dalam bentuk merubah atau menghapus sebagian atau bahkan mencabut berlakunya Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang KPK, maka kedudukan Perpu tersebut adalah inkonstitusional, karena hal ini secara tidak langsung menjadi executive review terhadap undang-undang, yang secara konstitusional hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Berlakunya Perpu  inkonstitusional tersebut dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam mekanisme constitutional review atau ditolak oleh DPR dalam mekanisme legislative review.
Untuk mencegah adanya preseden buruk dalam pembentukan Perpu, maka kekurangan atau kelemahan yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang KPK lebih baik diajukan constitutional review ke Mahkamah Konstitusi atau dilakukan perubahan melalui tahapan dan prosedur pembentukan Undang-Undang di DPR.
Share:

Dr. Moh. Saleh, S.H,M.H

( Legal Drafting Expert )

Label

Recent Posts