Perpu KPK Berpotensi Inkonstitusional


Image

DR. MOH. SALEH

Pakar Hukum Konstitusi Universitas Narotama Surabaya

Perpu KPK Berpotensi Inkonstitusional

 Kolom
https://akurat.co/id-808901-read-perpu-kpk-berpotensi-inkonstitusional
Image
Menteri Dalam Negri Tjahjo Kumolo bersalaman dengan Anggota Panja Arsul Sani sebelum dimulainya rapat panja pembahasan rancangan revisi UU No 30/2002 tentang KPK di ruang Badan Legislasi (Baleg), Nusantara I, Kompleks Parlemen MPR/DPR-DPD, Senayan, Jakarta, Jumat (13/9/2019).Dalam rapat ini membahas rancangan revisi UU MD3 (MPR/DPR/DPD) No 2/2018 dan UU Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan (PPP) No 12/2011. | AKURAT.CO/Sopian
AKURAT.CO, UUD NRI 1945 sebagai the supreme law of the land telah menentukan desain hubungan ketatanegaraan dalam rangka pembatasan kekuasaan melalui mekanisme check and balances antar lembaga negara. Melalui UUD NRI 1945 inilah maka tidak ada satupun kekuasaan lembaga negara di Indonesia yang tidak dibatasi oleh UUD NRI 1945, termasuk kekuasaan Presiden dalam membuat Perpu.
UUD NRI 1945 telah menentukan secara tegas terkait dengan lembaga negara yang berwenang melakukan pengujian atas suatu produk hukum. Jika produk hukum tersebut berbentuk undang-undang, maka lembaga negara yang berwenang melakukan pengujian adalah Mahkamah Konstitusi melalui mekanisme constitutional review. Jika berbentuk Perppu, maka yang berwenang melakukan pengujian adalah DPR melalui mekanisme legislative review dan oleh Mahkamah Konstitusi melalui mekanisme constitutional review. Jika berbentuk peraturan di bawah undang-undang, maka yang berwenang melakukan pengujian adalah Mahkamah Agung melalui mekanisme judicial review.
Mekanisme pengujian atas sebuah produk hukum pada hakikatnya adalah sebagai media check and balances antar lembaga negara, sehingga pengujian atas sebuah produk hukum tersebut harus dilakukan oleh lembaga negara lain, bukan dilakukan oleh lembaga negara yang membuatnya. Oleh karena itu, UUD NRI 1945 telah menentukan produk hukum apa dan lembaga negara mana yang berwenang melakukan pengujian sebagaimana dijelaskan di atas.
Baca Juga:
Perdebatan mengenai rencana pembuatan Perpu oleh Presiden untuk merubah Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang KPK dapat dianalisis konstitusionalitasnya melalui kedudukan DPR dan melalui pendekatan sejarah terbentuknya mekanisme pengujian undang-undang. Undang-Undang dibentuk oleh DPR dalam kedudukannya sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Menurut John Locke (1632-1704 M) dalam Second Treatise of Government menyatakan bahwa kekuasaan legislatif diberikan oleh rakyat untuk mengatur hak-hak alamiah (natural rights) yang tak tertanggalkan dalam setiap individu yang berupa life, liberty, dan estate agar dapat dijamin perlindungan dan pemenuhannya oleh negara. Oleh sebab itulah, John Locke menyatakan bahwa kekuasaan legislatif merupakan kekuasaan yang tertinggi, sedangkan kekuasaan lainnya berasal dari dan lebih rendah darinya.
Pemikiran John Locke inilah yang menjadi sumber lahirnya prinsip supremasi parlemen, bahwa undang-undang yang dibuat oleh parlemen tidak dapat dilakukan peninjauan oleh lembaga negara lainnya, termasuk oleh lembaga pengadilan, apalagi lembaga eksekutif. Baru sejak adanya Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus William Marbury vs. James Madison tahun 1803, prinsip supremasi parlemen bergeser menjadi supremasi konstitusi, dimana lembaga pengadilan yang berwenang dapat melakukan pengujian atas konstitusionalitas sebuah undang-undang terhadap Konstitusi. Prinsip supremasi konstitusi ini kemudian berkembang di negara-negara eropa kontinental, yaitu di Austria dengan dibentuknya Verfassungsgerichtshoft (Mahkamah Konstitusi) pada tahun 1920, yang kemudian diadop oleh Indonesia pada tahun 2003.
Berdasarkan atas analisis kedudukan DPR dan pendekatan historis tersebut di atas, maka undang-undang sebagai produk DPR pemegang kekuasaan legislatif hanya dapat dilakukan peninjauan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of the constitution  dan sebagai wujud pelaksanaan dari supremasi konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945. Atas dasar argumentasi inilah, maka Perpu tidak dapat dijadikan instrumen hukum untuk mereview materi muatan dalam Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang KPK.
Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 memberikan kekuasaan kepada Presiden sebagai pemagang kekuasaan eksekutif untuk membentuk Perpu hanya dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Jadi, syarat adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa ini merupakan Objective wording  dan menjadi batasan bagi kekuasaan Presiden untuk membentuk Perpu. Objective wording  ini kemudian diperjelas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009. Pada paragraf 3.10 disebutkan bahwa Perpu diperlukan apabila:
  1.    adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat  berdasarkan Undang-Undang;
  2.    Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukumatau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
  3.    kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Tiga syarat di atas merupakan syarat kumulatif, artinya Presiden baru dapat memberlakukan Perpu jika telah memenuhi semua tiga syarat tersebut. Syarat kumulatif ini dipertegas pada paragraf 3.11 dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Dalam hal Presiden akan memberlakukan Perpu, maka materi muatan Perpu tersebut bukan untuk merubah atau menghapus sebagian materi muatan dalam Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang KPK, tetapi untuk mengisi kekosongan hukum yang belum diatur atau belum memadai diatur dalam Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang KPK, misalnya pengaturan terkait dengan Ketentuan Peralihan bagi calon komisoner KPK yang belum berumur 50 tahun pada saat proses pemilihan sesuai dengan Pasal 29 huruf e rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang KPK.
Dalam hal materi muatan Perpu mereview materi muatan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang KPK, baik dalam bentuk merubah atau menghapus sebagian atau bahkan mencabut berlakunya Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang KPK, maka kedudukan Perpu tersebut adalah inkonstitusional, karena hal ini secara tidak langsung menjadi executive review terhadap undang-undang, yang secara konstitusional hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Berlakunya Perpu  inkonstitusional tersebut dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam mekanisme constitutional review atau ditolak oleh DPR dalam mekanisme legislative review.
Untuk mencegah adanya preseden buruk dalam pembentukan Perpu, maka kekurangan atau kelemahan yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang KPK lebih baik diajukan constitutional review ke Mahkamah Konstitusi atau dilakukan perubahan melalui tahapan dan prosedur pembentukan Undang-Undang di DPR.
Share:

Tiga Syarat Perppu KPK Bisa Diterbitkan

https://www.vivanews.com/berita/nasional/12693-tiga-syarat-perppu-kpk-bisa-diterbitkan

  • Tiga Syarat Perppu KPK Bisa Diterbitkan

  • Sabtu, 12 Oktober 2019 | 13:36 WIB
  • Oleh :
    • Syahrul Ansyari

Hasil gambar untuk Ilustrasi aksi tolak revisi UU KPK

VIVAnews - Persoalan Peraturan Pengganti Undang-undang atau Perppu Komisi Pemberantasan Korupsi masih jadi polemik di masyarakat.
Pakar Hukum Konstitusi Universitas Narotama Surabaya, Moh. Saleh mengingatkan bahwa undang-undang sebagai produk DPR, selaku pemegang kekuasaan legislatif hanya dapat dilakukan peninjauan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of the constitution dan wujud pelaksanaan dari supremasi konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
“Atas dasar argumentasi inilah, maka Perppu tidak dapat dijadikan instrumen hukum untuk mereview materi muatan dalam Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang KPK,” kata Saleh kepada VIVAnews, Minggu 12 Oktober 2019.
Saleh menuturkan, Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 memberikan kekuasaan kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif untuk membentuk Perppu hanya dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Karena itu, syarat adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa ini merupakan objective wording dan menjadi batasan bagi kekuasaan presiden untuk membentuk Perppu.
Objective wording ini kemudian diperjelas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009,” tegas dia.
Dalam putusan itu, kata dia, pada paragraf 3.10 disebutkan bahwa Perppu diperlukan apabila adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat  berdasarkan undang-undang.
Kemudian, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Lalu, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa, karena akan memerlukan waktu yang cukup lama. Sedangkan keadaan yang mendesak tersebut, perlu kepastian untuk diselesaikan.
“Tiga syarat di atas merupakan syarat kumulatif. Artinya, Presiden baru dapat memberlakukan Perppu jika telah memenuhi semua tiga syarat tersebut,” katanya.
Saleh melanjutkan, syarat kumulatif ini dipertegas pada paragraf 3.11 dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Dalam hal Presiden akan memberlakukan Perppu, maka materi muatan Perppu tersebut bukan untuk mengubah atau menghapus sebagian materi muatan dalam Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang KPK, tetapi untuk mengisi kekosongan hukum yang belum diatur atau belum memadai diatur dalam Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang KPK.
Misalnya, pengaturan terkait dengan ketentuan peralihan bagi calon Komisoner KPK yang belum berumur 50 tahun pada saat proses pemilihan sesuai dengan Pasal 29 huruf e rancangan Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang KPK.
Dalam hal materi muatan Perppu mereview materi muatan Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang KPK, baik dalam bentuk mengubah atau menghapus sebagian atau bahkan mencabut berlakunya Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang KPK, maka kedudukan Perppu tersebut adalah inkonstitusional, karena hal ini secara tidak langsung menjadi executive review terhadap undang-undang, yang secara konstitusional hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
“Berlakunya Perppu inkonstitusional tersebut dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam mekanisme constitutional review atau ditolak oleh DPR dalam mekanisme legislative review,” ujarnya.
Untuk mencegah adanya preseden buruk dalam pembentukan Perppu, tambahnya, maka kekurangan atau kelemahan yang terdapat dalam Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang KPK, sebaiknya diajukan constitutional review ke Mahkamah Konstitusi atau dilakukan perubahan melalui tahapan dan prosedur pembentukan undang-undang di DPR. (asp)
Share:

Pakar Hukum: Perppu KPK Berpotensi Inkonstitusional

Pakar Hukum: Perppu KPK Berpotensi Inkonstitusional

Pakar Hukum: Perppu KPK Berpotensi Inkonstitusional

GELORA.CO - Polemik Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) revisi UU 30/2002 tentang KPK yang saat ini masih ditimbang-timbang Presiden Joko Widodo berpotensi inkonstitusional.

Menurut Pakar Hukum Konstitusi Universitas Narotama Surabaya, Moh. Saleh, syarat dikeluarkannya Perppu adalah adanya kegentingan memaksa.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009, jelasnya, ada tiga hal yang menjadi syarat kegentingan memaksa.

Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat  berdasarkan Undang-Undang. Kedua, Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum.

Ketiga, kekosongan tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena butuh waktu lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

"Tiga syarat ini kumulatif, artinya Presiden baru dapat memberlakukan Perppu jika telah memenuhi semua syarat tersebut," kata Moh Saleh dalam keterangan tertulis yang diterima Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (12/10).

Ia melanjutkan, materi Perppu yang akan dikeluarkan presiden juga bukan untuk mengubah atau menghapus sebagian materi muatan dalam Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang KPK. Melainkan untuk mengisi kekosongan hukum yang belum diatur dalam Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang KPK.

"Baik dalam bentuk mengubah atau menghapus sebagian atau bahkan mencabut berlakunya Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang KPK, maka kedudukan Perppu tersebut inkonstitusional. Karena secara tidak langsung menjadi executive review terhadap undang-undang, yang secara konstitusional hanya dapat dilakukan MK," paparnya.

Oleh karenanya, ia berpandangan Perppu tersebut dapat dibatalkan MK dalam mekanisme constitutional review atau ditolak oleh DPR dalam mekanisme legislative review jika Presiden Jokowi tetap ngotot mengeluarkan Perppu.

"Untuk mencegah adanya preseden buruk dalam pembentukan Perppu, maka kekurangan atau kelemahan yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang KPK lebih baik diajukan constitutional review ke Mahkamah Konstitusi atau dilakukan perubahan melalui tahapan dan prosedur pembentukan Undang-Undang di DPR," demikian Moh Saleh. (Rmol)
Share:

TENAGA AHLI DPRD PROVINSI JAWA TIMUR LULUS UJIAN DOKTORAL DI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA

http://mkn.fh.unair.ac.id/tenaga-ahli-dprd-provinsi-jawa-timur-lulus-ujian-doktoral-di-fakultas-hukum-universitas-airlangga/

image 
Wednesday, April 10 th, 2019
Hari Rabu (20/03) Tenaga Ahli DPRD Provinsi Jawa Timur, Moh. Saleh, S.H., M.H., berhasil menyelesaikan studi doktoralnya di Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH UNAIR). Dosen Fakultas Hukum Universitas Narotama di Surabaya ini berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Prinsip Demokrasi Konstitusional dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah”. Sidang ujian yang diselenggarakan secara terbuka ini bertempat di Aula Pancasila, Gedung A FH UNAIR.
Dalam disertasinya ini, Moh. Saleh mengkaji frase “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945. Menurutnya, jika dikaji lebih jauh berdasarkan landasan filosofi penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang terdapat dalam Pancasila, frase ini memungkinkan munculnya format Pilkada yang asimetris di Indonesia. Artinya, setiap daerah bisa memilih format Pilkadanya sendiri. Hal tersebut bisa dilakukan berdasar kriteria tertentu, yaitu hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa, hak tradisional dalam kesatuan masyarakat hukum adat, serta kemampuan keuangan daerah dan sumber daya manusia.
Hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa selama ini telah diterapkan di dua daerah. Keduanya adalah Kasultanan Ngajogjakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta. Keduanya telah diakui secara de facto dan de jure. Sementara itu, ada beberapa kerajaan yang secara de facto masih ada namun belum diberi pengakuan secara de jure. Di antaranya Kesultanan Surakarta, Kesultanan Tidore, dan Kesultanan Cirebon. Putusan MK Nomor 81/PUU-VIII/2010 menggariskan 5 (lima) kriteria penetapan daerah istimewa. Pertama, kerajaan tersebut sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Kedua, susunan pemerintahannya masih asli. Ketiga, struktur kerajaannya masih hidup dan diakui masyarakat. Keempat, memiliki wilayah. Kelima, memiliki aset yang masih digunakan dalam tradisi dan kegiatan kerajaan.
Hak tradisional masyarakat hukum adat juga menjadi pertimbangan diterapkannya format Pilkada asimetris. Epistema Institute menyatakan bahwa dalam rentang tahun 2013-2016, ada 538 (lima ratus tiga puluh delapan) kesatuan masyarakat hukum adat yang diakui di Indonesia. Mereka memiliki kekhasan dalam berbudaya, termasuk dalam memilih pemimpin. Poin selanjutnya adalah kemampuan keuangan daerah. Hal ini terkait penelitian FITRA (Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran) di tahun 2013. Penelitian tersebut mengungkap fakta terjadinya penurunan belanja publik dari anggaran daerah setelah dilaksanakan mekanisme Pilkada serentak. Artinya, daerah-daerah pada dasarnya terbebani dengan pola Pilkada dengan format simetris. Lain lagi halnya dengan poin kemampuan sumber daya manusia. Di daerah-daerah dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tinggi, menurut LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), telah mampu melaksanakan Pilkada dengan baik. Berbeda tentunya dengan daerah dengan IPM rendah yang memiliki potensi permasalahan dalam proses dan hasil Pilkada. Semua poin di atas, menurut Moh. Saleh, merupakan argumen yang mendasari perlunya Indonesia membuka ruang untuk penyelenggaraan format Pilkada yang asimetris.
Bertindak sebagai Promotor adalah Prof. Dr. Tatiek Sri Djatmiati, S.H., M.S., dengan Ko-Promotor Dr. Sukardi, S.H., M.H. Adapun Tim Penguji adalah sebagai berikut:
  1. Nurul Barizah, S.H., LL.M., Ph.D. (Dekan FH UNAIR selaku Ketua)
  2. Prof. Dr. L. Budi Kagramanto, S.H., M.H., M.M. (Anggota)
  3. Prof. Dr. Drs. Abd. Shomad, S.H., M.H. (Anggota)
  4. Dr. Emanuel Sujatmoko, S.H., M.S. (Anggota)
  5. Dr. Lanny Ramli, S.H., M.Hum. (Anggota)
  6. Koesrianti, S.H., LL.M., Ph.D. (Anggota)
  7. Dr. Lina Hastuti, S.H., M.H. (Anggota)
  8. Dr. Rr. Herini Siti Aisyah, S.H., M.H. (Anggota)
Dengan demikian lahirlah doktor ke-388 dari FH UNAIR. Sidang memberikan predikat Sangat Memuaskan dengan IPK 3.64. Selamat, Dr. Moh. Saleh, S.H., M.H., semoga ini menjadi jalan terbukanya pintu pengabdian yang lebih luas kepada bangsa dan negara. (jr)
Share:

Konstitusionalitas Penetapan Presiden Terpilih


http://kanalberita.co/detail/berita/konstitusionalitas-penetapan-presiden-terpilih

Penulis : Dr. Moh. Saleh, S.H., M.H.
Pakar Hukum Konstitusi dan Kaprodi MIH FH Universitas Narotama Surabaya

Rumusan norma hukum dalam Pasal 6A UUD NRI 1945 mengandung kekaburan norma (vague of norm) sehingga telah memicu perdebatan di kalangan ahli hukum dalam penentuan pasangan calon terpilih pada Pilpres 2019 saat ini.
Pasangan Calon Lebih Dari Dua
Apabila merujuk pada Risalah Sidang (memorie van toelichting) Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (PAH I BP MPR) Tahun 2001, rumusan Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) memang dimaksudkan dalam hal terdapat calon presiden dan wakil presiden lebih dari 2 pasangan calon. 
Dalam hal terdapat lebih dari 2 pasangan calon, maka berlaku 2 syarat untuk ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih, yaitu:
1. memperoleh suara lebih dari 50%; dan
2. memperoleh suara sedikitnya 20% pada masing-masing provinsi yang tersebar pada lebih 50% provinsi di Indonesia.
Penentuan pasangan calon terpilih dalam Pasal 6A ayat (1) UUD NRI 1945 merupakan syarat kumulatif, artinya 2 syarat tersebut harus dipenuhi semua. Perolehan suara lebih dari 50% sebagai syarat ke-1 hampir tidak ada perdebatan di kalangan ahli hukum. Akan tetapi untuk syarat ke-2 terjadi banyak perbedaan pendapat di kalangan para ahli hukum. Apabila merujuk pada risalah sidang PAH BP MPR tanggal 22 Mei 2001 bahwa yang dimaksud dengan syarat ke-2 adalah pasangan calon harus memperoleh suara paling sedikit 20% pada masing-masing provinsi paling sedikit pada 18 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia. Hal ini berarti meskipun pada beberapa provinsi lainnya memperoleh suara kurang dari 20%, pasangan calon tersebut tetap memenuhi syarat kumulatif sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945. 
Dalam hal pasangan calon memperoleh suara lebih dari 50% akan tetapi terdapat 17 provinsi atau lebih dengan perolehan suara pada masing-masing provinsi tersebut kurang dari 20%, maka pasangan calon tersebut tidak dapat ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih karena tidak memenuhi syarat kumulatif sebagaimana dalam Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945. Dalam hal ini berlaku norma hukum dalam Pasal 6A ayat (4) UUD NRI 1945, yaitu wajib dilakukan Pilpres putaran kedua (second elections) bagi pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak kesatu dan kedua.
Pasangan Calon Hanya Ada Dua
Untuk memberikan kejelasan atas kekaburan norma dalam Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945 dalam hal hanya terdapat 2 pasangan calon, Mahkamah Konstutusi (MK) telah memberikan penafsiran atas Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945 dalam Perkara Nomor 50/PUU-XII/2014 mengenai perkara pengujian Pasal 159 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres. Menurut MK bahwa ketentuan dalam Pasal 159 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008 adalah inkonstitusional bersyarat (conditionally inconstitutional) sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku bagi pasangan calon presiden dan wakil presiden yang hanya terdiri atas 2 pasangan calon. Menurut MK bahwa dalam hal hanya terdapat 2 pasangan calon, maka yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih, sehingga tidak ada Pilpres Putaran Kedua. Putusan MK ini didasarkan alasan (Ratio Decidendi) bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden yang dicalonkan oleh gabungan partai politik telah memenuhi syarat representasi seluruh rakyat dan daerah di Indonesia sehingga pasangan calon terpilih tersebut dianggap telah mendapatkan dukungan dan legitimasi yang kuat dari rakyat.
Kedudukan Putusan MK Dalam Pilpres 2019 
Pada dasarnya MK menguji konstitusionalitas norma hukum dalam undang-undang terhadap UUD NRI 1945 (abstract review). Oleh karena itu, apabila terdapat undang-undang lain yang mengatur norma hukum yang sama yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK, maka norma hukum yang sama yang diatur dalam undang-undang lain tersebut harus dinyatakan inkonstitusional juga. Konstruksi hukum ini pernah diterapkan dalam Putusan MK Perkara Nomor 42/PUU-XIII/2015 pada paragraf 3.11.4. MK menegaskan bahwa terhadap undang-undang lain yang masih berlaku yang mengatur norma "tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih" harus ditafsir sesuai dengan Putusan MK Dalam Perkara Nomor 4 /PUU-VII/2009, yaitu tidak berlaku jika yang bersangkutan secara terbuka dan jujur mengumumkan ke publik bahwa dirinya sebagai mantan terpidana.
Dalam Perkara Nomor 50/PUU-XII/2014, MK telah memutuskan bahwa norma hukum yang berbunyi: "Pasangan Calon Terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleb suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar lebih dari setengah jumlab provinsi di Indonesia" yang diatur dalam Pasal 159 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008 dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Norma hukum ini ternyata dimuat kembali dalam Pasal 416 ayat (1) UU No. 7 Tahun. 2017 tentang Pemilu. Oleh karena rumusan norma hukum yang diatur dalam Pasal 416 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 sama dengan norma hukum yang diatur dalan Pasal 159 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008, maka norma hukum dalam Pasal 416 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 harus juga dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
Norma hukum dalam Pasal 159 UU No. 42 Tahun 2008 maupun Pasal 416 UU No. 7 Tahun 2017 pada dasarnya sama-sama berkedudukan sebagai tafsiran atas Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD NRI 1945. Oleh karena tafsiran ini dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK, maka tafsiran yang dimuat dalam Pasal 159 ayat (1) dan Pasal 416 menjadi berubah sesuai dengan Putusan MK dalam Perkara Nomor 50/PUU-XII/2014.
Perubahan Konstitusi
Menurut K.C. Wheare bahwa perubahan konstitusi dapat terjadi karena 4 alasan, yaitu some primary forces, formal amandment, judicial interpretation, serta usage and convention. Berdasarkan atas pendapat inilah, maka norma hukum dalam Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945 telah mengalami perubahan sebagai akibat dari judicial interpretation yang dilakukan oleh MK dalam Perkara Nomor 50/PUU-XII/2014. Oleh karena itu, terhadap norma hukum yang terdapat dalam Pasal 416 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 harus dimaknai sesuai dengan Putusan MK tersebut.
Memumbuhkan Sadar Berkonstitusi
Konstitusi merupakan kesepakatan bersama (resultante) atau "janji suci" yang harus dijunjung tinggi dan ditegakkan. Konstitusi terdiri atas deretan pasal-pasal yang dapat melahirkan perbedaan tafsir di kalangan para ahli hukum. Sebagai wujud dari sadar berkonstitusi, maka perbedaan tersebut haruslah diserahkan kepada lembaga peradilan yang berwenang menafsirkan atas isi konstitusi, dalam hal ini adalah MK sebagai the final interpreter of the constitution.
Share:

Wakil Ketua KPK Tak Tahu Pimpinan Surati Jokowi


Wakil Ketua KPK Tak Tahu Pimpinan Surati Jokowi Wakil ketua KPK Alexander Marwata (CNN Indonesia/Andry Novelino)

Sumber:  Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPKAlexander Marwata mengaku tidak mengetahui pimpinan KPK telah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo. Surat yang dikirimkan itu terkait revisi Undang-undang nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK pada Jumat (6/9). Ia pun mengaku tidak pernah disodorkan surat tersebut untuk ditandatangani.

"Enggak, saya juga tidak tahu ada itu. Saya enggak disodorin itu," kata Alexander kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin (9/9).

Sosok yang masuk dalam 10 besar capim KPK periode 2019-2023 itu pun belum mau menyampaikan sikapnya terhadap rencana revisi UU KPK secara tegas.

Ia hanya berkata bahwa dirinya memiliki sejumlah usulan terkait poin yang seharusnya direvisi bila revisi UU KPK bertujuan untuk menguatkan lembaga antirasuah tersebut.

Salah satunya, lanjut Alexander, terkait supervisi dan koordinasi dengan aparat penegak hukum lain.


"Kita (KPK) itu masih lemah dalam hal supervisi koordinasi dengan aparat penegak hukum yang lain. Bagus kalau KPK misalnya menjadi sentra pengaduan kasus korupsi," ujarnya.

Alexander berkata akan menjawab lebih lanjut pertanyaan seputar revisi UU KPK dalam fit and proper test atau uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR pada Kamis (12/9) mendatang.

Lebih dari itu, dia membantah bahwa dirinya merupakan salah satu komisioner KPK yang mendukung revisi UU KPK.

"Siapa yang omong, saya perasaan tidak pernah statement seperti itu. Nanti, Kamis (akan) saya jawab semua," ucap Alexander.

Sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo memastikan telah mengirimkan surat kepada Jokowi terkait revisi UU KPK, Jumat (6/9).

Dalam surat yang ditandangani oleh lima pimpinan KPK itu, lembaga antirasuah meminta Jokowi mendengar dan mempertimbangkan pendapat para ahli dan akademisi dari berbagai perguruan tinggi ihwal RUU KPK yang diusulkan DPR.

Intinya, KPK meminta Presiden tidak mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) yang merupakan tanda persetujuan pemerintah agar RUU KPK itu dibahas dengan DPR.

Share:

Dr. Moh. Saleh, S.H,M.H

( Legal Drafting Expert )

Label

Recent Posts