Konstitusionalitas Penetapan Presiden Terpilih


http://kanalberita.co/detail/berita/konstitusionalitas-penetapan-presiden-terpilih

Penulis : Dr. Moh. Saleh, S.H., M.H.
Pakar Hukum Konstitusi dan Kaprodi MIH FH Universitas Narotama Surabaya

Rumusan norma hukum dalam Pasal 6A UUD NRI 1945 mengandung kekaburan norma (vague of norm) sehingga telah memicu perdebatan di kalangan ahli hukum dalam penentuan pasangan calon terpilih pada Pilpres 2019 saat ini.
Pasangan Calon Lebih Dari Dua
Apabila merujuk pada Risalah Sidang (memorie van toelichting) Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (PAH I BP MPR) Tahun 2001, rumusan Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) memang dimaksudkan dalam hal terdapat calon presiden dan wakil presiden lebih dari 2 pasangan calon. 
Dalam hal terdapat lebih dari 2 pasangan calon, maka berlaku 2 syarat untuk ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih, yaitu:
1. memperoleh suara lebih dari 50%; dan
2. memperoleh suara sedikitnya 20% pada masing-masing provinsi yang tersebar pada lebih 50% provinsi di Indonesia.
Penentuan pasangan calon terpilih dalam Pasal 6A ayat (1) UUD NRI 1945 merupakan syarat kumulatif, artinya 2 syarat tersebut harus dipenuhi semua. Perolehan suara lebih dari 50% sebagai syarat ke-1 hampir tidak ada perdebatan di kalangan ahli hukum. Akan tetapi untuk syarat ke-2 terjadi banyak perbedaan pendapat di kalangan para ahli hukum. Apabila merujuk pada risalah sidang PAH BP MPR tanggal 22 Mei 2001 bahwa yang dimaksud dengan syarat ke-2 adalah pasangan calon harus memperoleh suara paling sedikit 20% pada masing-masing provinsi paling sedikit pada 18 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia. Hal ini berarti meskipun pada beberapa provinsi lainnya memperoleh suara kurang dari 20%, pasangan calon tersebut tetap memenuhi syarat kumulatif sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945. 
Dalam hal pasangan calon memperoleh suara lebih dari 50% akan tetapi terdapat 17 provinsi atau lebih dengan perolehan suara pada masing-masing provinsi tersebut kurang dari 20%, maka pasangan calon tersebut tidak dapat ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih karena tidak memenuhi syarat kumulatif sebagaimana dalam Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945. Dalam hal ini berlaku norma hukum dalam Pasal 6A ayat (4) UUD NRI 1945, yaitu wajib dilakukan Pilpres putaran kedua (second elections) bagi pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak kesatu dan kedua.
Pasangan Calon Hanya Ada Dua
Untuk memberikan kejelasan atas kekaburan norma dalam Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945 dalam hal hanya terdapat 2 pasangan calon, Mahkamah Konstutusi (MK) telah memberikan penafsiran atas Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945 dalam Perkara Nomor 50/PUU-XII/2014 mengenai perkara pengujian Pasal 159 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres. Menurut MK bahwa ketentuan dalam Pasal 159 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008 adalah inkonstitusional bersyarat (conditionally inconstitutional) sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku bagi pasangan calon presiden dan wakil presiden yang hanya terdiri atas 2 pasangan calon. Menurut MK bahwa dalam hal hanya terdapat 2 pasangan calon, maka yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih, sehingga tidak ada Pilpres Putaran Kedua. Putusan MK ini didasarkan alasan (Ratio Decidendi) bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden yang dicalonkan oleh gabungan partai politik telah memenuhi syarat representasi seluruh rakyat dan daerah di Indonesia sehingga pasangan calon terpilih tersebut dianggap telah mendapatkan dukungan dan legitimasi yang kuat dari rakyat.
Kedudukan Putusan MK Dalam Pilpres 2019 
Pada dasarnya MK menguji konstitusionalitas norma hukum dalam undang-undang terhadap UUD NRI 1945 (abstract review). Oleh karena itu, apabila terdapat undang-undang lain yang mengatur norma hukum yang sama yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK, maka norma hukum yang sama yang diatur dalam undang-undang lain tersebut harus dinyatakan inkonstitusional juga. Konstruksi hukum ini pernah diterapkan dalam Putusan MK Perkara Nomor 42/PUU-XIII/2015 pada paragraf 3.11.4. MK menegaskan bahwa terhadap undang-undang lain yang masih berlaku yang mengatur norma "tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih" harus ditafsir sesuai dengan Putusan MK Dalam Perkara Nomor 4 /PUU-VII/2009, yaitu tidak berlaku jika yang bersangkutan secara terbuka dan jujur mengumumkan ke publik bahwa dirinya sebagai mantan terpidana.
Dalam Perkara Nomor 50/PUU-XII/2014, MK telah memutuskan bahwa norma hukum yang berbunyi: "Pasangan Calon Terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleb suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar lebih dari setengah jumlab provinsi di Indonesia" yang diatur dalam Pasal 159 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008 dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Norma hukum ini ternyata dimuat kembali dalam Pasal 416 ayat (1) UU No. 7 Tahun. 2017 tentang Pemilu. Oleh karena rumusan norma hukum yang diatur dalam Pasal 416 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 sama dengan norma hukum yang diatur dalan Pasal 159 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008, maka norma hukum dalam Pasal 416 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 harus juga dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
Norma hukum dalam Pasal 159 UU No. 42 Tahun 2008 maupun Pasal 416 UU No. 7 Tahun 2017 pada dasarnya sama-sama berkedudukan sebagai tafsiran atas Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD NRI 1945. Oleh karena tafsiran ini dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK, maka tafsiran yang dimuat dalam Pasal 159 ayat (1) dan Pasal 416 menjadi berubah sesuai dengan Putusan MK dalam Perkara Nomor 50/PUU-XII/2014.
Perubahan Konstitusi
Menurut K.C. Wheare bahwa perubahan konstitusi dapat terjadi karena 4 alasan, yaitu some primary forces, formal amandment, judicial interpretation, serta usage and convention. Berdasarkan atas pendapat inilah, maka norma hukum dalam Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945 telah mengalami perubahan sebagai akibat dari judicial interpretation yang dilakukan oleh MK dalam Perkara Nomor 50/PUU-XII/2014. Oleh karena itu, terhadap norma hukum yang terdapat dalam Pasal 416 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 harus dimaknai sesuai dengan Putusan MK tersebut.
Memumbuhkan Sadar Berkonstitusi
Konstitusi merupakan kesepakatan bersama (resultante) atau "janji suci" yang harus dijunjung tinggi dan ditegakkan. Konstitusi terdiri atas deretan pasal-pasal yang dapat melahirkan perbedaan tafsir di kalangan para ahli hukum. Sebagai wujud dari sadar berkonstitusi, maka perbedaan tersebut haruslah diserahkan kepada lembaga peradilan yang berwenang menafsirkan atas isi konstitusi, dalam hal ini adalah MK sebagai the final interpreter of the constitution.
Share:

Dr. Moh. Saleh, S.H,M.H

( Legal Drafting Expert )

Label

Recent Posts