Konstitusionalitas Penetapan Presiden Terpilih


http://kanalberita.co/detail/berita/konstitusionalitas-penetapan-presiden-terpilih

Penulis : Dr. Moh. Saleh, S.H., M.H.
Pakar Hukum Konstitusi dan Kaprodi MIH FH Universitas Narotama Surabaya

Rumusan norma hukum dalam Pasal 6A UUD NRI 1945 mengandung kekaburan norma (vague of norm) sehingga telah memicu perdebatan di kalangan ahli hukum dalam penentuan pasangan calon terpilih pada Pilpres 2019 saat ini.
Pasangan Calon Lebih Dari Dua
Apabila merujuk pada Risalah Sidang (memorie van toelichting) Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (PAH I BP MPR) Tahun 2001, rumusan Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) memang dimaksudkan dalam hal terdapat calon presiden dan wakil presiden lebih dari 2 pasangan calon. 
Dalam hal terdapat lebih dari 2 pasangan calon, maka berlaku 2 syarat untuk ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih, yaitu:
1. memperoleh suara lebih dari 50%; dan
2. memperoleh suara sedikitnya 20% pada masing-masing provinsi yang tersebar pada lebih 50% provinsi di Indonesia.
Penentuan pasangan calon terpilih dalam Pasal 6A ayat (1) UUD NRI 1945 merupakan syarat kumulatif, artinya 2 syarat tersebut harus dipenuhi semua. Perolehan suara lebih dari 50% sebagai syarat ke-1 hampir tidak ada perdebatan di kalangan ahli hukum. Akan tetapi untuk syarat ke-2 terjadi banyak perbedaan pendapat di kalangan para ahli hukum. Apabila merujuk pada risalah sidang PAH BP MPR tanggal 22 Mei 2001 bahwa yang dimaksud dengan syarat ke-2 adalah pasangan calon harus memperoleh suara paling sedikit 20% pada masing-masing provinsi paling sedikit pada 18 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia. Hal ini berarti meskipun pada beberapa provinsi lainnya memperoleh suara kurang dari 20%, pasangan calon tersebut tetap memenuhi syarat kumulatif sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945. 
Dalam hal pasangan calon memperoleh suara lebih dari 50% akan tetapi terdapat 17 provinsi atau lebih dengan perolehan suara pada masing-masing provinsi tersebut kurang dari 20%, maka pasangan calon tersebut tidak dapat ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih karena tidak memenuhi syarat kumulatif sebagaimana dalam Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945. Dalam hal ini berlaku norma hukum dalam Pasal 6A ayat (4) UUD NRI 1945, yaitu wajib dilakukan Pilpres putaran kedua (second elections) bagi pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak kesatu dan kedua.
Pasangan Calon Hanya Ada Dua
Untuk memberikan kejelasan atas kekaburan norma dalam Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945 dalam hal hanya terdapat 2 pasangan calon, Mahkamah Konstutusi (MK) telah memberikan penafsiran atas Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945 dalam Perkara Nomor 50/PUU-XII/2014 mengenai perkara pengujian Pasal 159 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres. Menurut MK bahwa ketentuan dalam Pasal 159 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008 adalah inkonstitusional bersyarat (conditionally inconstitutional) sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku bagi pasangan calon presiden dan wakil presiden yang hanya terdiri atas 2 pasangan calon. Menurut MK bahwa dalam hal hanya terdapat 2 pasangan calon, maka yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih, sehingga tidak ada Pilpres Putaran Kedua. Putusan MK ini didasarkan alasan (Ratio Decidendi) bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden yang dicalonkan oleh gabungan partai politik telah memenuhi syarat representasi seluruh rakyat dan daerah di Indonesia sehingga pasangan calon terpilih tersebut dianggap telah mendapatkan dukungan dan legitimasi yang kuat dari rakyat.
Kedudukan Putusan MK Dalam Pilpres 2019 
Pada dasarnya MK menguji konstitusionalitas norma hukum dalam undang-undang terhadap UUD NRI 1945 (abstract review). Oleh karena itu, apabila terdapat undang-undang lain yang mengatur norma hukum yang sama yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK, maka norma hukum yang sama yang diatur dalam undang-undang lain tersebut harus dinyatakan inkonstitusional juga. Konstruksi hukum ini pernah diterapkan dalam Putusan MK Perkara Nomor 42/PUU-XIII/2015 pada paragraf 3.11.4. MK menegaskan bahwa terhadap undang-undang lain yang masih berlaku yang mengatur norma "tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih" harus ditafsir sesuai dengan Putusan MK Dalam Perkara Nomor 4 /PUU-VII/2009, yaitu tidak berlaku jika yang bersangkutan secara terbuka dan jujur mengumumkan ke publik bahwa dirinya sebagai mantan terpidana.
Dalam Perkara Nomor 50/PUU-XII/2014, MK telah memutuskan bahwa norma hukum yang berbunyi: "Pasangan Calon Terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleb suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar lebih dari setengah jumlab provinsi di Indonesia" yang diatur dalam Pasal 159 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008 dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Norma hukum ini ternyata dimuat kembali dalam Pasal 416 ayat (1) UU No. 7 Tahun. 2017 tentang Pemilu. Oleh karena rumusan norma hukum yang diatur dalam Pasal 416 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 sama dengan norma hukum yang diatur dalan Pasal 159 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008, maka norma hukum dalam Pasal 416 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 harus juga dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
Norma hukum dalam Pasal 159 UU No. 42 Tahun 2008 maupun Pasal 416 UU No. 7 Tahun 2017 pada dasarnya sama-sama berkedudukan sebagai tafsiran atas Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD NRI 1945. Oleh karena tafsiran ini dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK, maka tafsiran yang dimuat dalam Pasal 159 ayat (1) dan Pasal 416 menjadi berubah sesuai dengan Putusan MK dalam Perkara Nomor 50/PUU-XII/2014.
Perubahan Konstitusi
Menurut K.C. Wheare bahwa perubahan konstitusi dapat terjadi karena 4 alasan, yaitu some primary forces, formal amandment, judicial interpretation, serta usage and convention. Berdasarkan atas pendapat inilah, maka norma hukum dalam Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945 telah mengalami perubahan sebagai akibat dari judicial interpretation yang dilakukan oleh MK dalam Perkara Nomor 50/PUU-XII/2014. Oleh karena itu, terhadap norma hukum yang terdapat dalam Pasal 416 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 harus dimaknai sesuai dengan Putusan MK tersebut.
Memumbuhkan Sadar Berkonstitusi
Konstitusi merupakan kesepakatan bersama (resultante) atau "janji suci" yang harus dijunjung tinggi dan ditegakkan. Konstitusi terdiri atas deretan pasal-pasal yang dapat melahirkan perbedaan tafsir di kalangan para ahli hukum. Sebagai wujud dari sadar berkonstitusi, maka perbedaan tersebut haruslah diserahkan kepada lembaga peradilan yang berwenang menafsirkan atas isi konstitusi, dalam hal ini adalah MK sebagai the final interpreter of the constitution.
Share:

Wakil Ketua KPK Tak Tahu Pimpinan Surati Jokowi


Wakil Ketua KPK Tak Tahu Pimpinan Surati Jokowi Wakil ketua KPK Alexander Marwata (CNN Indonesia/Andry Novelino)

Sumber:  Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPKAlexander Marwata mengaku tidak mengetahui pimpinan KPK telah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo. Surat yang dikirimkan itu terkait revisi Undang-undang nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK pada Jumat (6/9). Ia pun mengaku tidak pernah disodorkan surat tersebut untuk ditandatangani.

"Enggak, saya juga tidak tahu ada itu. Saya enggak disodorin itu," kata Alexander kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin (9/9).

Sosok yang masuk dalam 10 besar capim KPK periode 2019-2023 itu pun belum mau menyampaikan sikapnya terhadap rencana revisi UU KPK secara tegas.

Ia hanya berkata bahwa dirinya memiliki sejumlah usulan terkait poin yang seharusnya direvisi bila revisi UU KPK bertujuan untuk menguatkan lembaga antirasuah tersebut.

Salah satunya, lanjut Alexander, terkait supervisi dan koordinasi dengan aparat penegak hukum lain.


"Kita (KPK) itu masih lemah dalam hal supervisi koordinasi dengan aparat penegak hukum yang lain. Bagus kalau KPK misalnya menjadi sentra pengaduan kasus korupsi," ujarnya.

Alexander berkata akan menjawab lebih lanjut pertanyaan seputar revisi UU KPK dalam fit and proper test atau uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR pada Kamis (12/9) mendatang.

Lebih dari itu, dia membantah bahwa dirinya merupakan salah satu komisioner KPK yang mendukung revisi UU KPK.

"Siapa yang omong, saya perasaan tidak pernah statement seperti itu. Nanti, Kamis (akan) saya jawab semua," ucap Alexander.

Sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo memastikan telah mengirimkan surat kepada Jokowi terkait revisi UU KPK, Jumat (6/9).

Dalam surat yang ditandangani oleh lima pimpinan KPK itu, lembaga antirasuah meminta Jokowi mendengar dan mempertimbangkan pendapat para ahli dan akademisi dari berbagai perguruan tinggi ihwal RUU KPK yang diusulkan DPR.

Intinya, KPK meminta Presiden tidak mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) yang merupakan tanda persetujuan pemerintah agar RUU KPK itu dibahas dengan DPR.

Share:

KPK Periksa Anggota DPRD Waras Wasisto di Kasus Meikarta

KPK Periksa Anggota DPRD Waras Wasisto di Kasus Meikarta Anggota DPRD Jawa Barat Waras Wasisto. (CNN Indonesia/Andry Novelino)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat Waras Wasisto dan Staf Perizinan PT Lippo Cikarang Satriyadi, Senin (9/9). Keduanya diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Sekretaris Daerah (Sekda) Jawa Barat Iwa Karniwa dalam kasus suap proyek Meikarta.

"Penyidik mendalami keterangan saksi terkait pendaftaran tersangka IWK (Iwa Karniwa) ke PDIP dalam rangka pencalonan diri sebagai calon gubernur pada Pilgub Jawa Barat tahun 2018," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Senin (9/9).

Usai diperiksa, Waras mengaku dicecar terkait kesaksiannya di persidangan pada Pengadilan Tipikor Bandung. Saat itu Waras menjadi saksi dalam kasus perizinan Meikarta.

"Yang pertama melengkapi BAP sebelumnya. Tentu sebagai warga negara yang baik saya hadir. Kedua, saya sampaikan apa yang saya ketahui termasuk apa yang saya sampaikan di dalam persidangan sebelumnya," kata Waras kepada awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (9/9).

Iwa disangkakan melanggar pasal Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.Waras berkilah tidak mengetahui adanya pemberian uang ke tersangka Iwa. Namun, ia berujar bahwa ada titipan uang yang diserahkan ke Iwa dari Anggota DPRD Kabupaten Bekasi Fraksi PDIP Soleman.

"Titipannya bukan ke saya tapi ke Pak Leman (Soleman), ya. (Titipannya dalam bentuk apa?) Sumbangan untuk banner, untuk spanduk pencalonan Pak Iwa," pungkas dia.

Dalam perkara ini, Iwa berperan untuk memuluskan pengurusan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bekasi. RDTR sendiri penting untuk membangun proyek Meikarta.

Untuk mengurus RDTR itu, Iwa diduga menerima uang senilai Rp900 juta dari mantan Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi Nurlaili.

Uang itu sampai ke tangan Iwa melalui sejumlah perantara seperti Anggota DPRD Kabupaten Bekasi Fraksi PDIP Soleman dan Anggota DPRD Jawa Barat Waras Wasisto.


Pada pekan lalu, Iwa ditahan selama 20 hari ke depan. Ia ditahan di rumah tahanan Guntur.

"IWK ditahan 20 hari di rutan Guntur," kata kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati, Jumat (30/8).


Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190909210925-12-428912/kpk-periksa-anggota-dprd-waras-wasisto-di-kasus-meikarta
Share:

KPK Kembali Periksa Enam Saksi di Kasus Suap Garuda


KPK Kembali Periksa Enam Saksi di Kasus Suap Garuda Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa sejumlah saksi dalam kasus dugaan suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat yang menjerat mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar.

Mereka ialah mantan VP aircraft Maintenance Management PT Garuda Indonesia Batara Silaban, mantan VP Treasury Management PT Garuda Indonesia Albert Burhan, VP Corporate Planning PT Garuda Indonesia Setijo Awibowo.

KPK juga memeriksa tiga pegawai PT Garuda Indonesia bernama Rajendra Kartawiria, Rudyat Kuntarjo, dan Widianto Wiriatmoko. Sementara seorang pegawai lainnya bernama Victor Agung Prabowo mangkir dari agenda pemeriksaan.


"Penyidik mendalami keterangan para saksi terkait proses pengadaan pesawat, mesin pesawat serta perawatan mesin pesawat dari Airbus S.A.S dan Rolls-Royce P.L.C pada PT Garuda Indonesia," ujar Juru Bicara KPK melalui keterangan tertulis, Senin (9/9).

Dalam perkara ini, Emirsyah Satar bersama Direktur Utama PT Mugi Rekso Abadi Soetikno Soedarjo ditetapkan sebagai tersangka sejak 16 Januari 2017. Emirsyah diduga menerima suap €1,2 juta dan US$180 ribu atau senilai total Rp20 miliar serta dalam bentuk barang senilai US$2 juta yang tersebar di Singapura dan Indonesia. Uang tersebut diduga berasal dari perusahaan manufaktur Rolls Royce dalam pembelian 50 mesin pesawat Airbus SAS pada periode 2005-2014 pada PT Garuda Indonesia.

Sementara Soetikno diduga menjadi perantara suap terhadap Emirsyah.

Selain itu, dalam pengembangan kasus ini Emirsyah dan Soetikno menjadi tersangka tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menjelaskan TPPU itu diduga berdasarkan sejumlah penemuan terkait pemberian dari Soetikno kepada Emirsyah dan tersangka baru lainnya yakni Direktur Teknik Pengelolaan Armada PT Garuda Indonesia Hadinoto Soedigno (HDS) untuk membayar sejumlah aset.

"Untuk ESA, SS diduga memberi Rp5,79 miliar untuk pembayaran rumah beralamat di Pondok Indah, US$680 Ribu dan €1,02 juta yang dikirim ke rekening perusahaan milik ESA di Singapura, dan Sin$1,2 juta untuk pelunasan Apartemen milik ESA di Singapura," kata dia.

Sedangkan untuk Hadinoto, SS juga diduga memberi uang sejumlah US$ 2,3 juta dan €477 ribu ke rekening Hadinoto di Singapura.

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190909194844-12-428893/kpk-kembali-periksa-enam-saksi-di-kasus-suap-garuda
Share:

Viral Polisi Arogan, Korban Disebut Cabut Laporan


Viral Polisi Arogan, Korban Disebut Cabut Laporan Ilustrasi (REUTERS/Beawiharta)

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengatakan kasus dugaan penganiyaan yang dilakukan oleh oknum anggota polisi yang arogan telah dihentikan.

Alasannya, karena korban telah mencabut laporan atas kasus dugaan penganiyaan itu.

"Laporan sudah dicabut," kata Argo saat dikonfirmasi, Senin (9/9).

Disampaikan Argo, kasus dugaan penganiayaan tersebut terjadi hanya karena kesalahpahaman saja antara korban dengan oknum polisi tersebut.

"Iya betul (karena kesalahpahaman) sehingga memutuskan untuk berdamai antara kedua belah pihak," tutur Argo.

"Pada tanggal 6 September 2019 sekitar pukul 14.55 TKP halaman parkir My Hotel Glodok Jakarta Barat. Seorang security yang tengah mengatur atau merapikan parkiran hotel tanpa ada penyebab tiba-tiba diduga dipukul oleh seseorang yang menurut informasi adalah seorang Kanit Reskrim Polsek Taman Sari Jakarta Barat (info nama dari hasil pengaduan polda metro jaya),"Sebelumnya, video aksi arogan diduga oknum anggota polisi tersebar di media sosial. Salah satunya diunggah akun Youtube bernama camera intel. Unggahan berjudul 'Oknum Polisi yang Arogan di Taman Sari' itu menampilkan sebuah video rekaman CCTV.

Pada video berdurasi 1 menit 36 detik itu, terlihat bahwa rekaman CCTV itu diambil pada 6 September 2019 sekitar pukul 14.55 WIB.

Dalam unggahan itu, turut disertakan keterangan bahwa aksi itu terjadi di halaman parkir My Hotel, Glodok, Jakarta Barat.

Dijelaskan, bahwa saat itu seorang sekuriti tengah mengatur atau merapikan parkiran hotel. Namun, tiba-tiba sekuriti itu dipukul oleh seorang oknum polisi.

Dalam akun Youtube yang mengunggah video tersebut tertulis keterangan berikut.


"Terduga menggunakan mobil plat No B 168 RFP. Mohon pihak terkait bisa menindaklanjuti lebih serius lagi karena tidak sepatutnya aparat negara melakukan tindakan kurang terpuji seperti ini diduga melakukan penyerangan terhadap warga sipil dengan mengeluarkan senjata api. Semoga hal ini tidak terulang kembali dimasa yang akan datang."

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190910004933-12-428938/viral-polisi-arogan-korban-disebut-cabut-laporan
Share:

Masa Penahanan Ratna Sarumpaet Diperpanjang Hingga 14 Oktober


Masa Penahanan Ratna Sarumpaet Diperpanjang Hingga 14 Oktober Ratna Sarumpaet, terpidana kasus berita bohong atau hoaks. (CNN Indonesia/Andry Novelino)

Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI memperpanjang masa penahanan terpidana kasus berita bohong, Ratna Sarumpaet. Ratna, yang sebelumnya habis masa penahanan per 15 Agustus 2019, kini diperpanjang masa penahanannya hingga 14 Oktober 2019.  

"Jaksa melaksanakan isi penetapan tersebut (perpanjangan penahanan) dari Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Nomor 2528/Pen.Pid/2019/PT. DKI tanggal 30 Juli 2019," tutur Nirwan kepada CNNIndonesia.com, Senin (9/9).

Humas PN Jaksel, Achmad Guntur membenarkan kabar perpanjangan masa penahanan Ratna. Surat perpanjangan telah dibuat sejak 30 Juli 2019. Perpanjangan penahanan dilakukan pada 16 Agustus hingga 14 Oktober 2019.

"Sudah diperpanjang sejak 16 Agustus hingga 14 Oktober. Perpanjangan ini saja suratnya sudah sejak 30 Juli," ujarnya di PN Jaksel.

Seperti diketahui, Hakim Joni dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis dua tahun penjara terhadap Ratna Sarumpaet, 11 Juli 2019. Ratna divonis terbukti memenuhi unsur menyebarkan hoaks yang mengakibatkan keonaran seperti diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana.

Namun demikian, sepekan kemudian tepatnya pada 17 Juli 2019, Ratna mengajukan banding. Ratna menilai anggapan benih-benih keonaran dalam kasus yang menjeratnya tidak relevan dengan pasal yang menjadi dasar vonis.

Sebelumnya, perpanjangan penahanan Ratna dituding ilegal. Kuasa Hukum Ratna, Insank Nasruddin menyebut Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tidak melakukan perpanjangan penahanan terhadap kliennya. Padahal, menurut Insank, masa penahanan kliennya itu telah berakhir sejak 15 Agustus lalu.

"Penahanan Ibu Ratna menjadi kewenangan pengadilan tinggi dan surat penahanan dari PT telah berakhir di 15 agustus 2019 tidak ada perpanjangan lagi," kata Insank saat dikonfirmasi, Senin (9/9).

Insank menyebut penahahan terhadap Ratna saat ini adalah ilegal karena tidak ada surat perpanjangan penahanan. Ia mengaku telah mendatangi Rutan Mapolda Metro Jaya untuk menanyakan surat perpanjangan penahanan. Namun diketahui surat itu tidak ada.

"Senin minggu lalu kami sudah menanyakan surat penahanan lanjutan ke pihak petugas Rutan Polda namun tidak ada juga," tuturnya.

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190909175523-12-428856/masa-penahanan-ratna-sarumpaet-diperpanjang-hingga-14-oktober
Share:

Polda Metro Pasang Kamera ETLE di Jalur Transjakarta


Polda Metro Pasang Kamera ETLE di Jalur Transjakarta Petugas TMC memantau kendaraan di ruang kontrol Ditlantas Polda Metro Jaya. (CNN Indonesia/Hesti Rika)Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya melakukan kerja sama dengan PT Transportasi Jakarta untuk pemasangan kamera sistem tilang elektronik atau Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) di jalur Transjakarta.

"Jalur Transjakarta diharapkan steril dari pengendara lain selain transjakarta," kata Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Yusuf di Mapolda Metro Jaya, Senin (9/9).

Disampaikan Yusuf, dengan pemasangan kamera tilang elektronik itu, maka pihak kepolisian bakal melakukan penindakan terhadap pengendara kendaraan bermotor yang melintas di jalur Transjakarta.

"Yang masuk ke kawasan transjakarta atau dijalur separatornya transjakata itu di dalam itu kita akan laksanakan penindakan," ujarnya.

Diketahui dalam penerapan sistem tilang elektronik hanya berlaku pada kendaraan roda empat. Namun, untuk penerapan di jalur Transjakarta, sistem tersebut juga berlaku untuk kendaraan roda dua.

"Jadi seluruh kendaraan apakah roda dua, roda empat dan sebagainya, nanti yang masuk ke jalur busyway terekam sama kamera ETLE atau petugas yang ada di sana pasti kita laksanakan penindakan," tutur Yusuf.

Yusuf menuturkan untuk proses penindakan terhadap para pelanggar bakal dilakukan secara manual dan lewat sistem tilang elektronik.

Meski begitu, kata Nasir, tetap ada sejumlah kendaraan yang mendapat pengecualian, antara lain mobil pemadam kebakaran hingga mobil ambulans.

Sementara itu, Direktur Utama PT Transjakarta Agung Wicaksono menyampaikan pemasangan kamera ETLE di jalur Transjakarta diharapkan mampu meningkatkan sterilisasi jalur dari kendaraan bermotor lainnya.

Dengan demikian, kenyamanan pengguna Transjakarta juga meningkat lantaran ketepatan waktu bus juga meningkat.

"Kami dapat banyak masukan yang paling penting adalah jalur itu steril supaya diketahui dengan akurat kapan bus datang dan kapan tiba di tempat," ucap Agung.

Lebih lanjut, Agung berharap kamera ETLE itu bisa segera diterapkan paling lambat bulan Oktober mendatang.

Namun, untuk titik-titik pemasangan kamera itu, Agung enggan membeberkan. Ia juga enggan mengungkapkan berapa jumlah kamera yang rencananya bakal dipasanga.

"Saya tidak mau buka (titik pemasangan ETLE), karena harus rahasia agar menciptakan kesadaran pengendara bahwa ya betul ada kamera di jalur busway tapi di jalur mana dan titik mana, tidak kami beri tahu," tuturnya.

Share:

Polisi Sebut 2 Aktor Rusuh Papua Berkaitan dengan Benny Wenda


Polisi Sebut 2 Aktor Rusuh Papua Berkaitan dengan Benny Wenda Karopenmas Brigjen Pol Dedi Prasetyo menyebut aktor lapangan dan intelektual rusuh Papua berkomunikasi dengan Benny Wenda (CNN Indonesia/Safir Makki)

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo menyebut dua aktor kerusuhan di Jayapura, Papua, menjalin komunikasi dengan Benny Wenda yang kini menetap di Inggris.

Sebelumnya, Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian juga pernah menyebut Benny Wenda adalah aktor di balik aksi demonstrasi serta kerusuhan di Papua dan Papua Barat.

"Keterkaitannya ada. Jaring komunikasi itu ada," kata Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Senin (9/9).


Sebelumnya, Kepolisian menetapkan AG dan FK sebagai tersangka karena diduga menggerakkan massa dan tokoh yang terjaring dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP).

FK atau FBK diduga aktor intelektual kerusuhan dalam rentetan peristiwa di Papua dan Papua Barat sejak Agustus lalu. Sementara AG disebut sebagai aktor lapangan.

"Termasuk penyidik masih melakukan pengejaran terhadap beberapa tokoh KNPB (Komite Nasional Papua Barat) yang diduga juga terkoneksi dengan Benny Wenda," ujarnya.Keduanya merupakan mantan anggota BEM Universitas Cendrawasih dengan FK sebagai mantan ketuanya. Mereka ditangkap di rumah susun mahasiswa (rusunawa) Universitas Cenderawasih (Uncen), Wamena, Jayapura, Minggu lalu (8/9).

"AG merupakan sama dengan si FK. Bagian dari pada tim penggerak AMP (Aliansi Mahasiswa Papua) di Jayapura, yang digerakkan nanti dari aktor intelektual yang di KNPB," jelas Dedi.

FK dan AG merupakan dua dari 85 tersangka yang telah ditetapkan Kepolisian sejauh ini.

Dedi kemudian mengatakan pihaknya masih mendalami lebih lanjut terkait peran kedua tersangka dan keterkaitannya dengan Benny Wenda. Selain itu, Dedi juga menyebut saat ini kepolisian masih mengejar sejumlah tokoh.

Tokoh-tokoh tersebut, kata dia, juga memanfaatkan AMP dan memobilisasi massa untuk mempersiapkan kerusuhan dan memprovokasi di lapangan.


Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian sebelumnya menuding Benny Wenda berada di balik rentetan kerusuhan. Dia mengaku sudah mendapatkan data.

"Saya sudah dapat beberapa data, KNPB main, ULMWPP main. Dan saya tahu rangkaiannya ke mana, termasuk gerakan AMP, teman-teman adik-adik Aliansi Mahasiswa Papua, ini juga digerakkan oleh mereka," ujar Tito di Jayapura, Papua, seperti dilansir dari CNN Indonesia TV, Kamis (5/9).

"Jadi apa yang terjadi di Papua saat ini dan di luar itu semua didesain oleh kelompok yang ada di sini. Dan itu akan saya kejar," tambahnya.

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190909213619-12-428918/polisi-sebut-2-aktor-rusuh-papua-berkaitan-dengan-benny-wenda
Share:

Jokowi Disebut Mirip SBY, Cuci Tangan Soal Revisi UU KPK


Jokowi Disebut Mirip SBY, Cuci Tangan Soal Revisi UU KPK Masyarakat sipil menilai Presiden Jokowi cuci tangan dalam isu revisi Undang-undang KPK, mirip dengan yang dilakukan oleh Presiden keenam SBY. (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean)

Koalisi Masyarakat Madani Penyelamat KPK menilai langkah Presiden Joko Widodo menangani isu revisi Undang-undang KPK mirip dengan Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY.

Koalisi menyebut Jokowi tak ingin mendapat kesan mendukung revisi. Sehingga saat tampil di publik hanya menyampaikan dirinta belum membaca revisi UU KPK inisiatif DPR.

Jokowi Disebut Mirip SBY, Cuci Tangan Soal Revisi UU KPKGelombang penolakan revisi UU KPK meluas. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)
"Baik SBY maupun Jokowi menunjukkan pola yang sangat mirip dalam persoalan pelemahan KPK. Mereka berdua tampak tidak ingin berkotor-kotor tangan," kata analis politik Arif Susanto mewakili Koalisi di Jakarta, Senin (9/9).


Arif berujar Jokowi, seperti SBY, selalu menunjukkan sikap apologetik; seolah-olah sudah berbuat maksimal sesuai arah dukungan publik. Sehingga saat putusan akhir tak sesuai keinginan publik, ia tak bisa disalahkan.

Ia menuturkan saat ini Jokowi memilih untuk tak langsung tegas menolak revisi UU KPK. Jika desakan publik menguat, Jokowi baru akan bergerak seolah menyelamatkan situasi.

Koalisi tegas menolak revisi UU KPK. Mereka meminta Jokowi menghentikan rencana tersebut karena saat ini keputusan berada di pihaknya.Hal ini mirip saat rencana revisi UU KPK pada 2011. Saat itu rencana bergulir dari Komisi III yang dipimpin politikus Demokrat, Benny K Harman.
Revisi UU KPK saat itu bahkan masuk dalam prolegnas. Usai menuai tekanan publik, Presiden SBY memutuskan untuk menunda pembahasan.

"Jokowi sebagaimana SBY, itu bukan cuma indecisive, tapi inkonsisten. Bukan hanya tidak mampu mengambil keputusan yang tegas, tapi juga tidak konsisten," ujar dia.

"Presiden segera bersikap menolak rencana revisi UU KPK inisiatif DPR RI, dengan tidak mengeluarkan surat presiden," ucap Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas Feri Amsari dalam diskusi tersebut.

Diketahui, Jokowi sendiri masih meminta Menkumham Yasonna Laoly untuk mempelajari lebih dulu naskah Revisi UU KPK dari DPR.

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190910065638-12-428956/jokowi-disebut-mirip-sby-cuci-tangan-soal-revisi-uu-kpk
Share:

Pakar Hukum: KPAI Harus Buktikan Dulu Djarum Eksploitasi Anak


Pakar Hukum: KPAI Harus Buktikan Dulu Djarum Eksploitasi Anak Ilustrasi audisi PB Djarum. (CNNIndonesia/Surya Sumirat).

Sebelum menilai ada eksploitasi anak dalam audisi bulu tangkis PB Djarum, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) diminta untuk membuktikan unsur-unsur pelanggaran dalam kegiatan itu lebih dulu.

Pengajar Hukum Pidana di Universitas Indonesia Junaedi mengatakan unsur-unsur itu terdiri dari kesamaan logo yang digunakan di audisi itu dengan produk rokoknya, pelaksana audisi dan kebermanfaatannya, serta unsur eksploitasi anak untuk keuntungan materi.

Ketua KPAI Susanto membantah merekomendasikan penghentian audisi bulu tangkis, tapi hanya meminta penggantian logo.Ketua KPAI Susanto membantah merekomendasikan penghentian audisi bulu tangkis, tapi hanya meminta penggantian logo. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Pertama, dalam hal logo Djarum. Junaedi berpendapat KPAI harus bisa membandingkan logo jual Djarum dengan logo yang dipakai oleh anak-anak. Hal itu, kata dia, dapat dibuktikan di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual.


"Menurut saya masalah ini identik dengan masalah merek saja. Identik itu harus dibuktikan apakah ada kesamaan kalau dia identik dengan merek rokok atau ada lambangnya sama enggak? Jangan-jangan berbeda lagi," kata Junaidi kepada CNNIndonesia.com, Senin (9/9).

Diketahui, persoalan promosi rokok sendiri sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Pasal 35 ayat (2) huruf b PP itu menyebutkan bahwa promosi tembakau "tidak menggunakan logo dan/atau merek Produk Tembakau pada suatu kegiatan lembaga dan/atau perorangan."

Kedua, lanjut Junaedi, yang perlu dicermati ialah pelaksana kegiatan; apakah dilakukan oleh perusahaan rokok Djarum atau yayasan dari Djarum tersebut.

"Pada faktanya sebaliknya; ini yayasan Djarum kalau saya baca, pelaksana Djarum Foundation, apakah dia menjadi pengelola dari CSR Djarum atau bagaimana?" ujar dia.

Menpora Imam Nahrawi membantah ada eksploitasi anak dalam audisi bulu tangkis Djarum.Menpora Imam Nahrawi membantah ada eksploitasi anak dalam audisi bulu tangkis Djarum. (ANTARA FOTO/Andika Wahyu)
Diketahui, Djarum Foundation sendiri merupakan yayasan yang mengurusi tanggung jawab sosial dan lingkungan serta tidak mengurusi jual beli rokok Djarum. Djarum Foundation inilah yang biasanya mengadakan seleksi atlet bulutangkis.

Ditambahkannya, kebermanfaatan dari program yang digelar yayasan ini juga menjadi penting untuk dipertimbangkan.

"Kalau dilihatnya Djarum Foundation sebenarnya mengelola untuk kepentingan olahraga sejauh ini terbukti banyak menghasilkan atlet berprestasi, ada unsur kemanfaatan," jelas dia.

Ketiga, kata Junaedi, soal tudingan eksploitasi anak. Menurutnya, perlu dilihat apakah Djarum mengambil keuntungan materi dari kegiatan itu. Misalnya, kata dia, KPAI perlu melihat apakah Djarum membuka booth penjualan di lokasi pendaftaran audisi.

Di samping itu, ia juga menyebut kepentingan investigasi mengenai unsur pemaksaan terkait pemberian rokok maupun penggunaan kaos tersebut.

"Ini yang melaporkan keberatan yayasan lentera anak dan smoke free, [harus dibuktikan] apakah anak-anak diberikan rokok, promosi rokoknya dimana?" ujar dia.

Pakar: KPAI Harus Buktikan Dulu Djarum Ambil KeuntunganFoto: CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi
Dalam Penjelasan Pasal 66 UU 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, "dieksploitasi secara ekonomi" adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan Anak yang menjadi korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan Anak oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan materiil.

Terlepas dari proses pembuktiannya, Junaedi menganggap belum ada unsur eksploitasi ekonomi dari pelaksanaan audisi PB Djarum tersebut.

"Jadi kalau saya lihat enggak ada keuntungan materil itu. Atau dalam kegiatan audisi ada booth rokok yang membuktikan ada kepentingan materil," kata dia.

"Sepertinya KPAI jangan reaktif dengan pengaduan yang ada. Harus dilihat dulu dan dilakukan analisis mendalam sebelum memberikan rekomendasi," tutup Junaedi.

Sebelumnya, KPAI merekomendasikan untuk tak menggunakan nama, kaos, logo, dan ejaan 'Djarum' di kawasan olahraga demi menghilangkan unsur eksploitasi dengan menjadikan tubuh anak sebagai media promosi gratis.


Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190909140350-12-428746/pakar-hukum-kpai-harus-buktikan-dulu-djarum-eksploitasi-anak
Share:

Dr. Moh. Saleh, S.H,M.H

( Legal Drafting Expert )

Label

Recent Posts